Tak terasa telah begitu lama negara
Indonesia merdeka. Hampir 70 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdiri dengan banyak tantangan dan peristiwa sejarah yang dialami
bangsa ini. Massa Agresi Militer Belanda, Peristiwa pembantaian PKI,
Orde Baru, Revolusi hingga Reformasi, NU menjadi salah satu sahabat
setia yang tak pernah putus meninggalkan bangsa Indonesia. Dengan begitu
setianya NU tetap mempertahankan Ke-NU-anya untuk tetap menjaga
Indonesia dari segala kepentingan politik manapun.
Nahdlatul Ulama sendiri lahir pada 31
Januari 1926 M—sesuai catatan sejarah—yang dipimpin oleh KH. Hasyim
Asy’ari sebagai Rais Akbar, yang sebelumnya adalah bertujuan untuk
mengantisipasi niat buruk Raja Ibnu Saud dalam membongkar makam Nabi
Muhammad SAW, maka dibentuklah Komite Hijaz oleh KH. Wahab Hasbullah
yang kemudian disistematisasi menjadi ormas NU (nu.or.id). Hingga tahun
ini NU telah menjalankan roda organisasi selama 89 tahun (Masehi), tentu
itu bukan waktu yang sedikit.
Peranan NU bagi bangsa Indonesia
bukanlah hanya sebagai organisasi sosial yang bergantung hidup
sepenuhnya pada negara, namun NU mempunyai bagian penting bagi bangsa
Indonesia. NU merupakan organisasi masyarakat terbesar di Indonesia
dengan jumlah 34,92 % jumlah penduduk Indonesia (data BPS 2010). Dalam
perjuangan bangsa Indonesia dari massa penjajahan Belanda hingga era
Reformasi kalangan pesantren selalu ikut andil. Kita ambil contoh pada
tahun 1937, NU telah mempelopori persatuan umat islam di seluruh
Indonesia yaitu MIAI (Majlis Al Islamiy Al A’la Indonesia) untuk
mempersatukan ummat Islam dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda
(pesantren.web.id). Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh pesantren dan
intelektual NU dalam memperjuangkan bangsa Indonesia.
Masyarakat NU di era millennium ini
banyak dilirik oleh negara asing dalam hal kerukunannya. Indonesia
terkenal sebagai negara plural yang terdiri dari banyak suku, agama, dan
ras. Indonesia juga mempunyai masyarakat yang beragama Islam terbesar
di dunia. Jika dibandingkan dengan negara Timur Tengah yang masyarakat
muslimnya jauh lebih sedikit dari Indonesia, masyarakat NU lah yang
menurut saya mempunyai riwayat konflik tersedikit dari negara-negara
lain. Hal ini bisa dibandingkan pada konflik yang terjadi di negara
Iran, Syuriah, Irak, Palestina, dan negara Timur Tengah lainnya yang
tiap tahunnya bisa terjadi peperangan yang menimbulkan korban jiwa. Di
Indonesia sampai saat ini tercatat, konflik agama Islam yang paling
parah terjadi adalah peristiwa Poso pada 2000 silam antara orang Islam
dan Kristen. Konflik ini pun, menurut Allisa Wahid dalam materinya
(21/01/15) di Kaliurang silam, menyatakan bahwa konflik ini sebetulnya
bukan konflik agama secara murni, namun merupakan oknum terkait yang
mencoba memanfaatkan ketegangan masyarakat sebagai korbannya. Selain
itu, dalam kasus bom bunuh diri dan terorisme yang hangat-hangatnya
terjadi, ketua umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj menyatakan
dalam media detik.com, bahwa pesantren NU tidak ada yang terkait
teroris. Pernyataan-pernyataan ini telah membuktikan bahwa NU bukanlah
agama, ormas, dan jama’ah yang keras dan tidak menghargai perbedaan,
namun NU merupakan organisasi jam’iyyah dan Wasilah (jalan) yang selalu menjunjung tinggi toleransi sebagaimana dicerminkan oleh Almarhum KH. Abdurrahman Wahid.
Beberapa waktu lalu, 19 September 2013,
delegasi dan tokoh agama dari Afganistan berkunjung ke Indonesia,
tepatnya di Museum NU Surabaya. Maksud dari kedatangan mereka salah
satunya adalah ingin mengetahui kondisi warga NU yang terkenal ramah dan
rukun terhadap pemeluk agama lain. “Kami akan bawa pengalaman Islam ala
NU ke Afganistan” tutur Fazal Ghani, pemimpin rombongan dari Afganistan
(muslimmedianews.wordpress.com). Ini merupakan salah satu bentuk pujian
yang diberikan oleh negara gurun pasir kepada NU untuk keberhasilan
dalam mengayomi warganya dalam payung Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Dari semua pernyataan yang telah dipaparkan, menunjukkan bahwa NU merupakan idaman bagi dunia islam ke depan.
Penulis: Mohammad Sahlan (PMII Universitas Gadjah Mada)